Bismillahirrahmanirrahim......Selamat Datang...Semoga Allah Memberkati :)

Selasa, 29 Maret 2011

Catatan dan kesimpulan Kuliah Public Policy :))


“ Pendahuluan”
            Studi tentang Kebijakan Publik pada awalnya berkembang di negara-negara bersistem politik “barat”, yang bertumbuh seiring dengan peningkatan peran negara dan kesadaran politik masyarakatnya serta tuntutan profesionalisme birokrasi pemerintah. Berawal dari gerakan kesadaran untuki mengikis formalisme yang mengakibatkan kesenjangan tinggi antara kebijakan yang dirumuskan dengan implementasinya yang tidak efektif. Di Amerika Serikat, studi yang muncul sekitar pertengahan tahun 1960an / awal tahun 70an ini mendapat sambutan luar biasa secara global karena memang menjadi kebutuhan kebanyakan negara-negara yang bersendikan demokrasi dan pluralisme. Harapan terhadap efektifitas kebijakan yang dirumuskan oleh politisi maupun oleh/ bersama dengan birokrasi  tahun memperoleh solusi dengan kajian-kajian Public Policy karena pada dasarnya ini adalah studi yang menggabungkan antara demokratisasi proses dengan profesionalisme birokrasi, agar setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah lebih efektif. Proses demokratis akan melahirkan dukungan yang cukup, dan birokrasi profesional akan mendisain kebijakan secara cerdas dan tepat sasaran. Sayangnya harapan dan idealisasi tersebut seringkali terkendala oleh masih tingginya gejala formalisme birokrasi di Negara-negara Sedang Berkembang, yang mengakibatkan efektifitas kebijakan tersebut berhenti sebatas dokumen formal berkategori unsuccesfull implementations atau bahkan unimplemented. Untuk itulah maka studi tentang kebijakan masih dipandang relevan hingga sekarang, agar problem-problem publik yang diamanahkan masyarakat untuk memecahkan kesulitan dan kebutuhan mereka bisa lebih optimal dan efektif.

Sejarah.
      Pada awal kemunculannya Studi Kebijakan  masih merupakan bagian dari kajian ilmu politik, yang lebih memusatkan perhatian pada proses formulasi dan pemetaan aktor-aktor kebijakan serta kepentingan yang mereka bawakan. Kecenderungan “political heavy” masih sangat mewarnai awal kelahiran studi Kebijakan Publik, sehingga memunculkan 2 percabangan semu dengan adanya Kajian kebijakan dalam ilmu politik dan kajian Kebijakan ”dalam ilmu kebijakan”. Dalam perkembangan selanjutnya ternyata percabangan semu itu tidak berkembang lebih lanjut, karena memang dari hulunya perbedaan dan keinginan pembedaan tersebut akan menyulitkan dalam pengembangan teori kebijakan dan pengukuran efektifitas suatu kebijakan. Dalam perkembangannya kemudian percabangan tersebut hanyalah pada tahapannya saja (sekuensial). Dalam format analisis kebijakan, menjadi Analysis for policy dan Analysis of policy. Analisis kebijakan publik sendiri pada dasarnya adalah merupakan bagian dari Studi Kebijakan Publik yang lebih memfokuskan diri pada upaya peningkatan efektifitas kebijakan di tingkat yang lebih operasional, seperti program-program dan kegiatan pemerintahan.  Sebagai suatu kajian ideal yang menggabungkan antara ilmu kebijakan dengan kebijaksanaan (Policy dan Wisdom) maka Kebijakan Publik membutuhkan manusia smart dan Wise, sehingga dapat memproses kebijakan dengan maksimal.

Definisi
     Willian Dunn mendefinisikan sebagai Disiplin ilmu sosial terapan yg menggunakan berbagai Metode , Argumen dan  Transformasi Informasi yang relevan, dalam suatu setting Politik untuk memecahkan Problem publik/ Kebijakan. Dengan kata lain komprehensifitas perspektif/ teori merupakan sarat mutlak  dalam kebijakan publik. Tidak kurang pentingnya adalah, sebagaimana disebut-sebut dalam definisi tersebut adalah: pemecahan problem publik/ kebijakan.  Dengan demikian sebuah kebijakan publik yang tidak mampu memecahkan problem bukanlah kebijakan publik yang benar. Lebih jauh Dunn mengemukakan kriteria “dalam setting politik “, yang berarti kebijakan tersebut sangat terikat nilai pada politik, karena esensi kebijakan publik adalah sebuah proses politik (yang ideal dan bijak). Kebijaksanaan yang cerdas dari sebuah proses kebijakan publik dapat dirujuk pada definisi Thomas R Dye, yang mendefinisikannya sebagai : apapun yang dipilih pemerintah untuk melakukan, atau tidak melakukan sesuatu (Anything government choose to do or not to do). Ini dapat diartikan bahwa mendiamkan sesuatu/ pembiaran juga berkategori kebijakan publik, manakala diprediksi (dianalisis) hal tersebut akan lebih buruk dampaknya apabila diambil suatu tindakan (kebijakan publik).

Latar Belakang  
 Perubahan peran pemerintah yang (naik memicu birokratisasi, atau turun memicu privatisasi) fluktuatif selalu terkait dengan 2 hal, yaitu perubahan komposisi/ konstelasi kekuatan politik dan perubahan kapasitas pemerintahan. Dalam perspektif “rasionalitas kebijakan” kehausan publik akan pelayanan yang optimal menuntut birokrasi pelayanan yang profesional. Hal yang dipicu kesadaran politik ini menjadi tidak mudah bagi birokrasi karena tingginya derajat kepentingan dan subyektifitas yang mungkin dibawa oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat yang mengtasnamakan publik tersebut. Oleh karenanya studi Kebijakan publik kemudian melahirkan kriteria “aplicability” dari setiap kebijakan yang didisain oleh pemerintah. Untuk mencapai derajat aplikabiliti yang memadai tersebut maka mau tidak mau dibutuhkan prasyarat komprehensifitas-komprehensifitas tertentu, terkait dengan teori, aktor/ kepentingan, dan solusi yang ditawarkan .
Kesimpulan:
-          Tujuan utama mempelajari kebijan public adalah mempertajam policy analist dalam diri pelajar.
-          Analisis kebijakan berangkat dari problem public.
-          Policy analist di sini adalah mencoba untuk mencari suatu solusi atau problem solving dari problem-problem public yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
-          Dengan adanya policy analist ini mampu memberikan politik advokasi kepada pihak terkait sehingga lebih jenih dalam melihat suatu kebijakan. Maka dari itu, policy analist sangat membutuhkan komprehensifilitas baik itu dari segi teori maupun solusi yang dapat memperkuat analisist.
-          Hal yang urgen dalam kebijakan public adalah ketidak adaan solusi tunggal, artinya dalam kebijan public tidak mengakui adanya solusi mutlak sebab kebijakan public melihat kebijakan bukan hanya dari satu aspek.
-            Pengertian kebijakan public:
a.       Willian Dun : disiplin ilmu social terapan yang menggunakan berbagai metode, argument dan transformasi yang relevan dalam suatu setting politik untuk memecahkan problem public/output dari kebijkan.
b.      Thomas R Dye : apapun yang dipilih pemerintah untuk melakukan sesuatu  ataupun tidak memilih seseuatu (Anything government choose to do or not todo)
Jadi jelas bahwa policy analist merupakan inti dari definisi kebijakan  public.
-          dalam konteks ini, analisis kebijakan di bedakan menjadi dua:
a.       analisis of policy : mencoba menganailisis kebijakan dengan menghubungkan atau mengintervensi kebijakan yang sudah ada. Lebih focus pada latar belakang munculnya kebijakan.
b.      Analisis for policy : menganalisis kebijakan dari sisi implikasi atau dampak kebijakan itu.
-          esinsi utama kebijakan public adalah : ouput proses politik. Dalam hal ini kebijakan publik mencoba memetakan (mapping) aktor, kepentingan, bargaining, ddl guna mendapatkan suatu keuntungan sehingga dapat diketahui who get, of what and how much.

Kesimpulan:
-          Kebijakan publik merupakan kebijakan yang tidak bebas nilai
-          kebijakan pada dasarnya di awali oleh kebijakan riset, hal ini dikarenakan kebijakan merupakan sebuah sains.
-          Untuk menghasilkan suatu kebijakan yang berkualitas diperlukan sinergitas yang baik antara logika dan wise/kebijaksanaan. Hal ini dikarenakan kadangkala logika bersifat lenier yang menciptakan resistensi dengan fakta. Maka tidak heran apabila suatu kebijakan menggunakan option/cara yang kedudukannya lebih rendah bila dilihat dari sisi logika dalam memecahkan problem publik. Dalam hal ini, wise/kebijaksanaan digunakan dengan mempertimbangkan aspek2 lain yang tidak berada di luar ranah logika seperti paa fakta  ataupun situasi dan kondisi yang ada di masyarakat.
-          Hal yang juga ikut mempengaruhi suatu kebijakan adalah sistem birokrasi yang ada. Birokrasi yang identik dengan gerakan rutinitas dianggap sebagai penganggu dari suatu kebijakan, hal ini dikarenakan sering kali gerakan rutinitas tersebut tidak kompeten dalam mengimplemntasikan suatu kebijakan sehingga otomatis tujuan dari kebijakan juga terhambat.
-          Demokrasi juga memberikan andil pada kualitas kebijakan. Sebab dalam konsep demokrasi mengimbau kebijakan melibatkan semua stakeholders sehingga segala prefensi mereka dapat terwakilkan dan akhirnya kebijakan bisa dirasakan semua lapisan masyarakat. Inilah yang oleh Gabriel Almond di sebut dengan civil culture yang merupakan manefestasi dari teori pluralitas yang bertujuan meningkatkan partisipasi publik.
-          Dalam kebijakan publik di sahkan adanya organisasi learning, yaitu memperbaiki kebijakan setelah melalui tahap evaluasi terhadap kebijakan yang dirasakan tidak memberikan feedback sesuai dengan harapan. Namun organisasi learning ini bukan berarti inkonsestensi kebijakan, dimana kebijakan tidak memilki arah yang jelas karena sering mendapatkan perubahan sehingga muncul kebingungan kebijakan. Biasanya inkonsestensi ini muncul karena adamya intervensi keperntingan.
-          Analisis kebijakan pada intinya mengharapkan adanya rekomendasi kebijakan yang dapat memperbaiki kualitas kebijakan.
-          Kesalahan yang sering terjadi dalam analisis kebijakan sebenarnya terletak pada kebijakan itu sendiri, karena kadangkala kebijakan tersebut memecahkan problem yang salah sehingga memunculkan problem yang lebih kompleks.
-           Dalam konteks ini, kebijakan berbicara pada tataran normatif, artinya kebijakan hanya ada di lingkup formal.
-          Pada intinya suatu kebijakan harus komprehensif  yaitu melibatkan semua stake holders, ada prespetif teroinya dan terakhir bisa memberikan problem solving.

Kesimpulan:
-          Wiliiam Dunn melihat kebijakan publik dari dua prespektif yaitu dari tataran aktivitas (perumusan masalah,forescating, etc) dan tataran output (agenda setting, formulasi kebijakan,ect) (slide 3)
-          Proses kebijakan publik: kebijakan publik berakar dari adanya suatu masalah yang kemudian berkembang menjadi sebuah isu yang akhirnya terwadahi dalam suatu agenda untuk diolah dan akhirnya dibahas untuk mencari problem solving yang kemudian di tuangkan dalam publik policy. Namun kadangkala policy tersebut malah menghasilkan problem baru sehingga diperlukan suatu evaluasi yang berbasis learning.
-          Suatu kebijakan di sebut kebijakan publik apabila memiliki karakteristik :
1.      target dari kebijakan tersebut adalah publik
2.      problem yang berkembang membutuhkan intervensi dari pemerintah dikarenakan publik tidak mampu menyelesaikan problem tersebut.
-          proses perumusan permasalahn kebijakan publik (slide 5) : urgenitas suatu kebijakan yang berkualitas terletak pada adanya subtantive problem yaitu merumuskan masalah dengan benar yang didukung oleh teori-teori. Kemudian setelah itu, baru dilakukan suatu spesifikasi problem. Idealnya spesifikasi problem berakhir dengan adanya formal problem yang bersifat kuantitatif (menemukan data-data/informasi) sehingga  akar problem diketahui dan akhirnya penentuan problem solving lebih mudah yang disusun berdasarkan prioritas, akar masalah menjadi prioritas pertama problem solving. Setelah kebijakan itu tersusun kemudian dibandingkan dengan situasi problem yaitu suatu indikator yang menentukan apakah kebijakan yang dihasilkan relevan ataukah tidak dengan fakta, ini diperlukan sebab suatu kebijakan kerap sekali tertinggal dari fakta/kebutuhan, artinya terdapat suatu disparitas antara perceived impact dengan actual impact. Maka dari itu dibutuhkan suatu revisi besar atau evaluasi yang disebut dengan konseptualisasi problem sehingga subtansive problem benar-benar terwujud dalam suatu kebijakan yang dapat menyelesaikan problem publik bukan malah menjadikan problem semakin kompleks.
-          Gambaran seperti diatas merupakan sebuah manefestasi dari sebuah metode yang disebut dengan metode ROCCIPI, sebuah metode yang digunakan untuk menentukan proses kebijakan publik yang ideal dengan membuat prioritas-prioritas problem solving.
-          Esiensi terpenting dari kebijakan publik adalah output yang dihasilkan bukan terfokus pada proses pembuatannya. Hal ini dikarenakan efkivitas output akan sangat mempengaruhi implementasi, maka dari itu dalam pembuatan kebijakan publik juga dibutuhkan suatu kearifan lokan atau local jenius.

 Referensi: Murni dari kuliah Public Policy yang diajarkan pak gitadi ma bu Erna:))


Hubungan Birokrasi dan Politik




”Ketika kehadiran partai politik yang berupa pejabat-pejabat politik dalam birokrasi pemerintah tersebut mulai timbul, maka timbul pulalah suatu pertanyaan tentang hubungan keduanya. Pertanyaan ini sebenarnya merupakan pertanyaan klasik yang dahulu pernah dijernihkan oleh Woodrow Wilson sebagai perwujudan dari dikotomi antara politik dan administrasi”

Abstraksi diatas merupakan sebuah kutipan dari buku Prof. DR.Miftah Thoha,MPA yang berjudu Birokrasi dan Politik di Indonesia. Abtraksi mampu dalam mampu merefleksikan essiensi dari hubungan politik dan birokrasi.  Dalam hal ini, Politik dan birokrasi adalah dua hal berbeda tapi keduanya memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan tersebut rentan melahirkan konflik sehingga hubungan keduanya kerap kali dianalogikan seperti “ hubungan benci tapi rindu”.  Hal semacam ini akan tampak jelas pada negara yang menganut sistem demokrasi seperti indonesia.
Hadirnya partai politik sebagai karakteristik negara demokratis semakin memberikan warna pada perdebatan dikotomi politik dan administrasi, dimana menurut teori demokrasi liberal kehidupan birokrasi pemerintah didominasi oleh pejabat karier yang profesional dan pejabat politik dari parpol yang mendapatkan mandat rakyat melalui pemilihan, kedua pejabat tersebut saling berinteraksi bahkan berpotensi melakukan intervensi. Kehadiran ideologi parpol dalam kehidupan birokrasi cendrung mengkontaminasi kinerja birokrasi  sebagai pelayan publik yang dituntut untuk netral. Masuknya Ideologi parpol mempengaruhi congnitive maps pejabat politik sebagai decision maker sehingga kerap kali ouput kebijakan lebih cendrung berorentasi pada kepentingan parpol daripada publik. Disamping itu, eksistensi mereka dalam birokrasi dijadikan ajang mempertahankan status quo, pasalnya birokarasi dianalogikan seperti bangunan bertingkat yang dapat menyentuh semua lapisan masyarakat sehingga dapat dijadikan ajang untuk mendaptkan voters.
 Perdebatan dikotomi politik dan birokrasi berkosekuensi logis melahirkan isu ”netralitas birokrasi” sebagai jalan tengah menjembatani problem ini, asumsinya semakin netral birokrasi maka semakin jauh dari politik. Dalam konteks ini, Weber mengemukakan ”birokrasi rasional” sebagai manefestasi netralitas birokrasi, dimana  tatanan pola hirarki otoritas menjadi salah satu kewajiban birokrasi untuk netral. Namun, ternyata pola hierarki ini cendrung melahirkan deviasi kekuasaan yang merugikan publik dan justru memperkuat kerjaaan pejabat (officialdom) khusunya di level atas (pejabat politik sebagai penguasa). Disamping itu, prespektif birokrasi Weberian yang mengamsumsikan birokrasi tercipta indepent tanpa ada intervensi kekuatan politik ternyata tidak terbukti sepenuhnya. Menurut David Beentham (1975) tipe ideal birokrasi Wiberian sebenarnya juga mengambarkan adanya faktor politik yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan birokrasi sehingga kinerja birokrasi cendrung bisa keluar dari fungsi yang semestinya, hal ini disebabkan pekerja birokrasi tidak mampu memisahkan prilaku antara kepentingan individu dan publik.  
 Maka dari itu, birokrasi Weberian akhirnya banyak mendapat kritikan. Warren Bennis (1967) menjelaskan tatanan birokrasi akan berevolusi mengikuti perkembangan masyarakat, dimana suatu saat birokrasi Weberian akan tidak berlaku lagi. Kemudian kritikan ini dipertajam oleh Lawrence dan Lorch (1967), mereka menjelaskan kunci dari survivenya birokrasi hanya terletak pada daya adaptasi terhadap perubahan lingkungan. Heckscher dan Donellon (1994) juga mengkritik hal yang sama, mereka meprediksikan birokrasi di masa depan tidak hanya berorientasi inward looking tetapi lebih onward looking, dimana powering bukan lagi menjadi alat pengendali mesin birokrasi.
Karl Marx dan Hegel juga menyoroti  konsep netralitas birokrasi. Dalam hal ini, Marx mengelaborasi konsep birokrasi dengan menganalisis dan mengkritik falsafah Hegel mengenai negara. Dalam konteks ini, Birokrasi Hegelian menjelaskan administrasi negara atau birokrasi merupakan jembatan yang menghubungkan kepentingan negara yang bersifat umum dengan kepentingan masyarakat yang bersifat khusus (the civil Society).  Namun, hal ini dikritik oleh Mark. Menurut Marx, negara tidak mampu mewakili kepentingan umum akan tetapi lebih mewakili kepentingan khusus dari kelas dominan/kapitalis sehingga birokrasi cendrung menjadi instrumen kaum kapitalis untuk menbangun imperiumnya. Dan hanya melalui revolusi proletarian dan kehadiran kelas-kelas di dalam masyarakat birokrasi dan negara yang semacam itu dapat dimusnahkan.
Peran pemerintah dalam menjalankan dua fungsi sekaligus yaitu fungsi administrasi dan fungsi politik semakin memberikan warna pada sulitnya melakukan dikotomi antara birokrasi dan politik, apalagi ke dua fungsi tersebut lahir dan berkembang secara bedampingan dalam kurun waktu yang sama bersamaan dengan lahirnya  pemerintahan suatu negara. Hal ini mengakibatkan adanya hubungan ketergantungan antara keduanya yang sulit dipisahkan. Sebaliknya, hubungan keduanya justru berpotensi melakukan intervensi satu sama lain yang seharusnya berbeda arena. Dalam konteks ini, Fungsi politik tumbuh dan berkembang dalam arena konflik yang menitikberatkan pada persoalan nilai, ini mengasumsikan bahwa kelompok masyarakat pastilah memiliki nilai  (kepentingan politik) sehingga mereka akan berusaha mendekati garis otoritas agar nilai yang diyakininya dapat terwujud dan diterima oleh kelompok masyarakat lainya. Di sisi lain, fungsi administrasi lebih menitikberatkan pada arena fakta, dimana semakin pesat perkembangan masyarakat semakin memerlukan korp birokrat yang profesional, handal, penuh dedikasi, integritas dan berkomitmen tinggi guna mencapai efektivitas dan efisiensi yang merefleksikan kenyataan.  Ketika kedua fungsi tersebut mulai mengintervensi arena yang bukan haknya, maka eksistensi birokrasi pemerintah sebagai pelayan publik mulai terancam dan dipersoalkan.
 Selama ini fungsi administrasi di pemerintah Indonesia dinilai lebih tunduk pada fungsi politik. Fungsi administrasi hanya berperan sebagai pelaksana kebijakan penguasa yang jauh dari harapan rakyat, kinerja administrasi segaja dimanipulasi oleh politisi untuk mendukung bentuk penyimpangan kekuasaannya. Singkat kata, fungsi administrasi  hanya menjadi sebuah sketsa politisi untuk mempertahankan status quo pejabat politik. Padahal sebenarnya fungsi administrasi inilah yang memiliki peran cukup penting dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik, bersih dan bewibawa (good governance), dimana birokrat seharusnya bukan hanya menjadi pelaksana tetapi juga teribat dalam pembuatan dan evaluasi kebijakan yang memfokuskan pada kualitas pelayanan publik sehingga mampu menstimulan partisipasi publik untuk ikut mengontrol jalannya birokrasi pemerintah dan akhirnya mampu menciptakan hubungan sinirgitas antara  pemerintah, sektor swasta dan rakyat dalam posisi eqilibirium. Tentunya ke dua fungsi untuk ”netral” dalam rangka mewujudkan ”good governance” sulit terealisasikan, hal ini sangat dipengaruhi oleh aspek ”moral” atau ”kesalehan sosial” dalam diri pejabat dalam menjalankan tanggungjawabnya sebagai pelayan publik.
Dalam hal ini, intervensi fungsi keduanya juga bisa dilihat dari pola hubungan eksetutif dengan legeslatif dalam menjalankan roda pemerintahan. Eksekutif dan legeslatif jelas memiliki peran yang berbeda, tapi keduanya pasti tidak bisa terlepas dari suatu interaksi. Keduanya sama-sama berpotensi menjadi pengendali kekuasaan, adakalanya lembaga eksekutif yang memengang lokus kekuasaan tapi tidak jarang pula lembaga legeslatif yang mengendalikan kekuasaan. Hal semacam ini membuat  dikotomi politik dan birokrasi semakin ambigu. Dalam konteks ini, jika control legeslatif dikendalikan parpol terlalu tinggi maka proses politisasi juga semakin meningkat sehingga netralitas dan profesionalisme birokrasi tidak bisa terwujud.
Prinsip pemerintah demokratis yang fokus pada ”kedaulatan rakyat” mengalami kesulitan untuk menginterprestasikan dan mewadahi semua kepentingan rakyat sehingga jalan tengah yang diambil adalah ”kekuasaan moyoritas” dalam pembuatan kebijakan. Namun ternyata ini berpotensi menodai prinsip demokrasi, dimana para pembuat kebijakan (pejabat politik) lebih mudah melakukan suatu ”rekayasa” dengan mengatasnamakan rakyat untuk kepentingan kelompoknya. Dalam hal ini, Ideologi politik yang sejalan dengan demokrasi berusaha membatasi kekuasaan yang dahulunya tak terbatas. Upaya mengekang kekuasaan para penguasa ini dimanefestasikan dalam konstitusi. Maka dari itu,  dalam rangka meminimalisir ataupun intervensi politik dalam tubuh birokrasi pemerintah dituntut mampu menciptakan konstitusional yaang kuat, dimana supremasi hukum berjalan dengan semestinya tanpa ada diskriminasi sehingga hak-hak rakyat tetap terlindungi tidak dimakan oleh para penguasa.
Sistem merit yang diterapkan dalam kehidupan birokrasi juga memberikan implikasi signifikan terhadap perdebatan ”dikotomi politik dan birokrasi”, dimana sistem ini memprioritaskan profesionalisme bagi pengisian pejabat birokrasi baik untuk pejabat karier ataupun politik. Sistem ini berasumsi seorang berhak menjadi birokrat apabila sudah melewati tahapan karier yang tertib dan disiplin, artinya seorang birokrat harus memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam perjalanan kariernya. Namun, ketika sistem demokrasi yang melahirkan pejabat politik masuk dalam jajaran kinerja birokrasi  makna eksistensi sistem ini mulai dipertanyakan. Hal semacam ini terefleksi dengan jelas dalam persolan menentukan siapa yang berhak menjabat sebagai  mentri, apakah seorang yang profesional ataukah seorang yang berpartai politik.

Dalam konteks ini, pemilihan pejabat ditingkat birokrasi sudah tidak mengindahkan sistem merit ini, siapa pun mampu memasuki lingkup birokrasi tanpa prioritas profesionalisme asalkan memperoleh mandat dari rayat ataupun dari pejabat politik yang memengang kekuasaan, seorang bisa melakukan loncatan lansung tanpa harus antri yang tertib dan disiplin untuk mendapatkan jabatan penting di birokrasi. Proses politisasi semacam ini hanya mengandalkan “loyalitas” terhadap pemegang otoritas. Tentunya hal ini rentan sekali melahirkan praktek KKN, dimana orang yang memiliki hubungan dekat (keluarga, parpol dll) dengan pejabat tinggi politik lebih mudah memperoleh jabatan yang kadangkala justru menimbulkan kecemburuan sosial bagi pejabat karier yang mengikuti prosedur perjalanan kariernya dengan tertib  sehingga mereka cendrung terpengaruh untuk mendekati kekuasaan guna terlepas dari kukungan antrian dalam memperoleh jabatan dan parahnya ini berimplikasi besar terhadap “netralitas birokrasi” yang hanya akan menjadi sebuah konsep.
       Semakin besar politisasi dalam tubuh birokrasi ini menyebabkan kesulitan dalam melakukan perbedaan atau klasifikasi antara pejabat karier dan politik.  Dalam hal ini, hubungan keduanya merupakan suatu hubungan yang konstan antara fungsi kontrol dan dominasi. Namun, kemudain muncul persoalan ” siapa mengontrol siapa dan siapa pula yang menguasi memipin dan mendominasi siapa” . Persoalan semacam ini dapat dijelaskan melalui dua perspektif pendektan:
Ø  Executive ascendancy. Pendekatan ini melihat birokrasi sebagai subordinasi dari politik. Asumsinya kepemimpinan pejabat politik didasarkan atas kepercayaan bahwa supremasi mandat tersebut berasal tuhan atau berasal dari rakyat sehingga birokrasi pemerintah hanya dianggap sebagai mesin pelaksana kebijakan politik untuk mencapai tujuan publik.
Ø  Bereaucratic sublation birokrsi. Pendekatan ini melihat posisi birokrasi  sejajar dengan politik. Dalam hal ini, Weber dan Mark menjelaskan birokrasi yang real mempunyai kekuasaan seimbang dengan kekuasaan politik, dimana pejabat birokrasi memiliki profesionalisme yang permanen dan ini menandakan kekuatan birokrat mampu menghasilkan kebijakan yang berkualitas bukan hanya menjadi pelaksana.
 
Gejalah-gejalah diatas menunjukkan bahwa faktor yang menghambat terwujudnya “netralisasi birokrasi” ternyata datang dari sistem pemerintahan itu sendiri. Maka dari itu, diperlukan langkah yang tepat untuk merestrukturisasi birokrasi pemerintah seperti : (1) merumuskan pengertian pejabat karier dan politik dengan jelas (2) melakukan identifikasi jabatan (3) penentuan batas-batas tugas, tangung jawab dan kewenangan antara ke duanya (4) penetapan hubungan kerja antara keduanya.
      Dalam konteks ini,  hakekat netralitas birokrasi mengharapkan pelayanan harus tetap berorientasi pada kepentingan publik walaupun terjadi pergeseran kekuasaan (dari parpol yang memerintah). Dalam konteks ini, Birokrasi memberikan pelayanan berdasarkan ”loyalitas profesionalisme”, bukan pada ”loyalitas politik (parpol penguasa)” .   Dunleavy dan O’Leavy  (1987) mencoba memaparkan 4 model yang dapat dipergunakan untuk mengatur birokrasi pemerintah agar terhindar dari intervensi ideologi partai politik guna mewujudkan netralisasi birokrasi. Adapun 4 model tersebut adalah sebagai berikut  :
1.      Model perwakilan konstitusional. Model ini berasumsi semua rakyat bebas berserikat dalam suatu partai politik dan rakyat  itu pula yang memilih   perwakilan dalam konstitusional. Model ini menekankan bahwa pegawai pemerintah adalah mesin birokrasi yang harus netral dari kekuatan parpol yang berkuasa. Dalam hal ini,  pejabat politik memimpin pejabat birokrasi dan pejabat birokrasi diwajibkan melayani mereka dengan syarat tidak boleh terpengaruh.
2.      Model Pluralist. Pada dasarnya essiensi model pluralist hampir sama dengan model perwakilan konstitusional. Namun, model ini juga mengasumsikan bahwa pejabat birokrasi adalah bagian dari organisasi kelompok kepentingan dalam masyarakat, mereka juga memiliki peran untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dengan demikian, pengawai pemerintah dituntut netral dari pengaruh partai politik dan kelompok kepentingan lainnya kecuali kelompok kepentingan birokrasi pemerintah itu sendiri.
3.      Model otonomi yang demokratis. Model ini melihat pengawai pemerintah juga membutuhkan otonomi dalam menentukan kebijakan, namun ini tak lantas membuat mereka lepas dari kelompok kepentingan yang lain. Dalam hal ini, birokrasi pemerintah  harus memiliki preferensi tertentu  dalam pengambilan kebijakan agar bisa netral.
4.      Model new right. Model ini berasumsi bahwa kehidupan birokrasi cendrung melahirkan inefisien dan inefektivitas, dimana kepentingan politik dan kepentingan kelompok sering kali memfragmentasikan kepentingan publik. Maka dari itu, untuk menghindari hal tersebut pegawai pemerintah harus pintar memposisikan diri dan harus hati-hati dalam menentukan kebijakan  sehingga ouput kebijakan benar-benar bisa bermanfaat bagi rakyat. 
      Netralitas birokrasi di negara demokratis menjadi tantangan yang harus diwujudkan oleh civil society sebagai lembaga yang meletakan supremasi sipil (kepentingan publik) diatas kepentingan lainnya dalam menjalankan birokrasi pemerintah. Hal ini juga akan merangsang terciptanya pemerintahan yang amanah dengan kelembagaan birokrasi pemerintah yang sipilian. Dalam hal ini, civiel society telah mencoba mengubah  paradigma  sebagai manefestasi langkah guna mewujudkan netralisasi birokrasi pemerintah. Adapun perubahan paradigma tersebut meliputi :
1.      Perubahan paradigma dari orientasi sistem management negara menjadi orientasi pasar
2.      Perubahan paradigma dari orientasi lembaga pemerintah yang otoriter menjadi demokrasi.
3.      Perubahan paradigma dari sentralisasi kekuasaan menjadi desentralisasi kewenangan.
4.      Perubahan manejemen pemerintahan yang berarah kepentingan nasional menjadi lebih global.
5.      Perubahan paradigma dari birokrasi weberian ke post bereaucratic goverment dan post bereaucratic organization.
6.      Perubahan paradigma dari a low trust society kearah hight trust society.
      Namun, perubahan paradigma ini tidak akan memberikan arti yang signifikan terhadap netralitas birokrasi apabila tidak mendapat dukungan sepenuhnya dari masyarakat. Masyarakat  ataupun pejabat pejabat yang berperadaban, bermoral, patuh terhadap hukum sangat diperlukan untuk mewujudkan netralitas birokrasi. Di samping itu, pemerintah harus mampu memberdayakan masyarakat dan melakukan pengembangan kelembagaan (lembaga demokrasi, lembaga hukum, dsb) yang sesuai dengan kepentingan publik. Dalam hal ini, Sumpremasi hukum diatas kekuatan lainnya menjadi kunci untuk tetap bisa melindungi hak-hak rakyat sehingga pejabat birokrasi mampu mengemban amanah yang diberikan oleh rakyat.
Referensi : 
Prof. DR.Miftah Thoha,MPA. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta PT Raja Grafindo Persada.