Kemiskinan
merupakan masalah kompleks yang sekarang menjadi polemik besar yang harus
dihadapi oleh bangsa kita. Tingkat angka kemiskinan dari zaman sebelum
kemeredekaan sampai sekarang masih melesit tinggi, walaupun dalam konteks ini
pemerintah kita dari tahun ke tahun sudah mengaku menurunkan angka tersebut sedikit
demi sedikit. Pengakuan penurunan seperti ini sebenarnya masih diwarnai
skeptis masyarakat, banyak diantara mereka berasumsi penurunan tersebut
hanyalah tameng pemerintah mendapatkan legelitimasi dari masyarakat ataupun sorotan
dunia, pasalnya kemiskinan semcam ini hanya dilihat dari kaca mata kemiskinan
relative, dimana pemerintah itu sendiri yang menetapkan standar angka garis
kemiskinan. Hal ini semacam itu sangat rentan dipenuhi tendensi politik yang berpotensi
menimbulkan manipulasi, sedangkan bila ditinjau dari kemiskinan absolute masih
banyak fakta refleksi kemiskinan yang ada, misalnya hampir di setiap sudut kota
ataupun desa masih banyak gepeng yang berkeliaran, jumlah anak putus sekolah
yang masih membludak, penganggruan masih menjadi pekerjaan dominan masyarakat
kita, masih banyak keluarga yang kelaparan dan balita terkena busung lapar, dan
masih banyak realita lainnya Namun terlepas dari itu semua, banyak masyarakat
yang berharap kaca mata pengukuran kemiskinan relative adalah sesuatu kebenaran
yang harus disyukuri.
Di sisi lain, Bangsa kita ini memeliki potensi
alam yang melimpah ruah bahkan menurut penelitian potensi alam Negara kita termasuk
salah satu negara terkaya di dunia, potensi alam seperti ini pada dasarnya
merupakan salah satu asset atau modal utama penentu keberhasilan pembangunan
suatu Negara. Namun realitanya bangsa kita tidak mampu memperdayakan potensi tersebut
dan lebih parahnya potensi alam tersebut banyak yang dikuras habis oleh bangsa
lain, bangsa kita hanya bisa mengigit jari dan akhirnya kemiskinan tetap
berkemelut di Negara ini. Dalam konteks ini, factor penyebab kemiskinan di Negara
ini bukanlah berasal dari faktor naturally poor. Bayang – bayang sejarah masa
lalu masih terus membelenggu bangsa kita, penghancuran kesempatan memperoleh
hak berakar dari jaman feodalisme kerajaan-kerajaan Hindu Budha dan Islam serta
di jaman kolonialisme yang memakan kurun waktu tiga setengah abad, kemudian Penghancuran
kesempatan ini terus berlanjut hingga pada zaman globalisasasi ini.
Disparitas orang miskin dan orang
kaya masih sangat terlihat jelas di negara kita ini, pemandangan-pemandangan
ironis kerap sekali kita temui di lingkungan sehari-hari, banyak gedung-gedung
mewah yang berdiri di lingkungan kumuh, angka pengangguran semakin meningkat
namun tiap harinya jalan-jalan raya semakin dipenuhi oleh mobil mewah. Era
globalisasi yang menganut prinsip kapital menyebabkan distribusi ekonomi tidak dapat
terealisasikan dengan adil apalagi paham tersebut menganjurkan intervensi
pemerintah harus dibatasi sehingga memicu tindakan kesewenang-wenangan para
pemilik modal untuk mempertahankan status quonya termasuk mengekploitasi kaum
miskin. Hal ini sungguh menjadikan orang miskin tidak berdaya untuk keluar dari
garis kemiskinan, mereka akan tetap terus terjebak dalam lingkaran kemiskinan
yang sering disebut ”lingkaran setan” yang sulit sekali ditemukan titik
pemutusan mata rantainya. Apalagi seperti saat ini kondisi ekonomi negara kita
belum stabil dan laju inflasi masih saat tinggi sehingga menyebabkan segala
harga kebutuhan hidup semakin melambung tinggi, sementara itu penduduk miskin
yang mayoritas dari mereka hanya mengandalkan upah sebagai tenaga kerja kasar
akan semakin terpuruk.
Hal semacam ini disebut dengan
istilah ” materialisme historis” oleh Karl Marx, kaum kapital sengaja
menciptakan sistem sosial yang bukan didasari oleh kesadarannya tetapi lebih ditentukan
oleh eksistensi sosial, modus produksi sebagai alat mempertahankan status quo
melalui transformasi dan manipulasi alam. Negara kita yang tergolong dalam kategori negara berkembang masih banyak
dipenuhi orang miskin yang terjebak dalam kultur kemiskinan semacam itu. Banyak
anak yang lahir dari keluarga miskin tidak bisa memperoleh haknya terutama hak
untuk bersekolah, mereka yang seharusnya menjadi tanggung jawab orang tuanya
malah berbalik arah menghidupi keperluan orang tuanya sehingga ini mereka pun
akhirnya berpotensi untuk mewarisi kemiskinan orang tuanya yang nantinya juga
diwariskan pada keturunnya.
Hal semacam ini yang juga terjadi pada dua ibu yaitu Ibu Sumariyah dan Ibu Suhartini, yang merupakan tetangga kost saya dulu waktu kuliah. Saya sempat mendapatkan cerita-cerita tentang kisah dan pengalaman hidupnya. Kondisi kesulitan ekonomi yang dialami ibu Sumariyah dan ibu Suhartini sudah berakar dari usia ke
duanya masih dini. Ke duanya dilahirkan dari kondisi keluarga yang tidak jauh
berbeda dari ke duanya, orang tuanya dengan keterbatasan ekonomi tidak pernah
memberikan kesempatan pada mereka untuk mengenyam bangku pendidikan formal, ke
duanya hanya mendapatkan pendidikan mengaji dari masjid-masjid di sekitar
kampungnya. Kemiskinan orang tua ibu Sumariyah dan ibu Suhartini di desa telah
mewarisi kehidupan mereka saat ini, walaupun kehidupan ke duanya sedikit lebih
baik dari keadaan orang tuanya.
Massa
kecil yang seharusnya dipenuhi kebahagian bermain tidak sepenuhnya dapat
dirasakan oleh Ibu suhartini dan Ibu Sumariya, di usianya yang masih sangat
terbilang dini Ibu suhartini dan Ibu
Sumariyah sudah harus memikul tanggung jawab yang sangat besar yang tidak
sepantasnya ditanggung oleh anak seusianya, Ibu Suhartini dan Ibu sumariyah
sudah harus berjuang mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan dirinya sendiri
dan keluarganya, Ibu Sumariyah yang menjadi yatim piatu di usia 2 tahun sudah
terpaksa bekerja di usia 8 tahun, berbeda sedikit dengan Ibu Suhartini yang
memulai bekerja di usia 10 tahun . Hal seperti membuat massa kecil ibu
Sumariyah dan ibu Suhartini serasa sangat singkat. Keahlian dan ketrampilan yang menjadi kunci seseorang
untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan mampu memenuhi kebutuhan hidup tidak
dikuasai oleh ke duanya, kemampuan manegerial mereka hanya sebatas mengandalkan
tenaga yang mereka miliki. Maka dari itu mereka pun tidak memiliki pilihan sehingga
ibu Sumariyah dan ibu Suhartini hanya memperoleh pekerjaan sebagai pekerja
kasar. Masa remaja ibu Sumariyah dan ibu Suhartini hanya dihabiskan untuk
bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Tentunya penghasilannya yang tidak
seberapa tersebut tidak sepenuhnya dirasakan oleh ke duanya, pasalnya
penghasilan tersebut sebagian besar bahkan hampir semuanya diberikan untuk
membiayai kebutuhan hidup orang tuanya ataupun saudara kandungnya. Mungkin masa
kecil Ibu Sumariyah dan ibu Suhartini ini dapat dikatakan sebagai bentuk ekploitasi
terhadap anak.
Bukan
hanya itu, kemiskinan orang tuanya telah memberikan bekas yang tidak indah dalam
kehidupannya terlebih untuk kehidupan ibu Sumariyah. Akibat ketidakberdayaan di usianya yang masih
terbilang belia ibu Sumariyah kerap
mendapatkan hujatan dan siksaan dari kakaknya bahkan menurutnya siksaan
tersebut pernah hampir merebut nyawanya. Dalam konteks ini, ibu Sumariyah dan
ibu Suhartini hanya bisa pasrah menerima keadaannya. Lingkungan
remaja ibu Sumariyah dan ibu Suhartini menyebabkan ke duanya mendapatkan suami
yang memiliki latar belakang yang sama dengan beliau, suami ibu Sumariyah dan
ibu Suhartini juga tidak pernah merasakan bangku sekolah. Hal ini menyebabkan
suami-suami mereka juga tidak memiliki kemampuan managerial yang baik sehingga
mereka pun dihadapkan pada pilihan pekerjaan yang tidak mampu membawanya keluar
dari jerat kemiskinan. Hal ini seperti dialami oleh suami ibu Sumariyah, akibat
keterbatasan kemampuan dan keahilan menyebabkan beliau hanya bisa bekerja
sebagai buruh pabrik, ketika pabrik tersebut mengalami kebangkrutan dan beliau
terkena PHK tidak banyak yang bisa dilakukannya untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya, beliau hanya bisa berpangku tangan dan menjadi pengagur selama 9
tahun, waktu yang cukup lama untuk memulai suatu usaha.
Sedikit berbeda dari cerita suami ibu
Suhartini, suaminya hanya memiliki ketrampilan bengkel yang diperolehnya secara
otodidak. Namun akibat keterbatasan modal, suaminya hanya mampu membuka usaha
bengkel sederhana yang hanya melayani kerusakan sepeda ataupun sepeda motor
dengan masalah-masalah yang tidak serius, seperti ban kempes atupun mesin yang
sudah rusak. Akibat penghasilan suaminya
yang tidak menentu ibu Sumariyah dan ibu Suhartini juga dituntut memenuhi
kebutuhan hidupnya sehari-hari terutama untuk membiayai sekolah anak-anaknya,
ke duanya tidak menginginkan anaknya memiliki nasib yang sama dengan orang
tuanya. Dalam konteks ini, ibu Sumariyah mampu menyekolahkan ke dua putranya
hingga pendidikan SMA, sedangkan Ibu Suhartini masih prose menyekolahkan putra
semata wayangnya yang kini berada di bangku SMP. Ibu Sumariyah mampu
menyekolahkan ke dua putranya melalui hasil jerih payahnya sebagai penjual
rujak dan pesuruh orang yang membutuhkan tenaganya, misalnya mencuci,
menyetrika, memasak sampai menjaga anak. Sedangkan ibu Sumariyah membanting
tulang sebagai pengantar dan penunggu ponakannya yang masih duduk di bangku TK.
Sebenarnya kondisi
perekonomian ke duanya masih bisa dikategorikan dalam posisi yang aman, artinya
dengan penghasilan tersebut mereka masih bisa memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari-hari, setidaknya mereka tidak pernah mengalami kelaparan walaupun kerap makanan
yang dikonsumsinya hanya berlauk sederhana. Keduanya juga masih bisa memiliki
tempat untuk berlindung dari sengatan terik matarahari dan hujan meskipun hanya
berteduh di rumah sederhana, rumah ibu sumariyah sekarang hanya bertembok semen
yang belum dicat dengan 3 ruangan berukuran 2X3 meter dan tidak jarang kamar
beliau terpaksa dijadikan tempat untuk menyimpan perabotan dapurnya. Sedangkan
rumah kontrakan Ibu Suhartini hanya terdapat satu ruangan berkuran 3X3 meter
dan hanya diruangan itulah semua aktivitas keluarganya dilakukan mulai dari
memasak,nonton tv, tidur, makan, belajar putranya dan aktivitas-akitivitas
sehari-hari lainnya.
Namun seperti ungkapan
metafora ” orang miskin kalau ada di atas air yang tenang sebenarnya tidak akan
apa-apa tapi kalau kemudian air tersebut bergolombang sedikit saja maka hal
tersebut akan berpotensi menenggelamkan bahkan mematikan orang miskin”. Metefora inilah yang mungkin cocok
mengambarkan kondisi kehidupan dua Informan tersebut yang dekat dengan garis kemiskinan. Penghasilan
yang tidak menentu tersebut jarang sekali bersisa sehingga menyebabkan ke
duanya tidak memiliki simpanan yang cukup apabila ada keperluan yang mendesak
seperti untuk biaya pengobatan apabila
sakit.
Ibu sumariyah yang awalnya
mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari secara mandiri, namun ketika penyakit
rematik menderanya menyebabkan ibu sumariyah yang menjanda terpaksa berhenti
berjualan dan mengantungkan hidupnya pada anak-anaknya. Begitupula dengan putra
bungsunya yang menjadi harapan beliau untuk mengantungkan hidup, putranya yang
awalnya bekerja sebagai buruh di salah satu pabrik harus terbaring lemah tidak
bisa lagi mampu beraktivitas karena penyakit komplikasi paru-paru dan diabetes.
Warung yang dulunya juga menjadi usaha anaknya kini terpaksa kekurangan modal
sehingga hanya mampu menghasilkan pemasukan yang sedikit. Akhirnya sekarang ini
Ibu Sumariyah kembali terjebak pada
lembah kemiskinan yang menyebabkan beliau mengantungkan kehidupannya dari
santunan orang lain terlebih lagi untuk biaya pengobatan dirinya sendiri dan
anaknya yang tentunya membutuhkan biaya besar. Kehidupan Ibu suhartini pun
sekarang mulai mengalami kesulitan, pasalnya peralatan bengkel suaminya sudah
banyak yang tua dan rusak sehingga juga menyebabkan penghasilan suaminya
berkurang.
Mungkin ke dua contoh diatas, hanya merupakan sampel yang sangat kecil untuk menjelaskan bahwa lingkaran syaitan kemiskinan akan terus berkutat pada lingkungan-lingkungan yang di dalamnya juga dipenuhi oleh orang miskin. Hanya wawasan mengenai pentingnya pendidikan dan wawasan yang belandaskan agama kepada anak di usia dini mungkin bisa menjadi penawar atau pemutus lingkaran tersebut. Sebenarnya ini menjadi tanggung jawab kita semua untuk mampu mencetak generasi-generasi yang bewawasan luas, kaya akan ketrampilan, dan berjiwa agamis khususnya anak-anak dilingkungan-lingkungan dan dari kalangan orang miskin. Semoga Negara kita mampu menaugi anak-anak
bangsa untuk tetap bersekolah sehingga jerat kemiskinan bisa terlepas di Negara
kita tercinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar