Pelayanan merupakan kunci organisasi untuk
bersaing dalam rangka mempertahankan eksistensi dan daya survivenya. Pelayanan ini merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh organisasi atau seseorang untuk tujuan tertenutu. Pelayanan berkualitas ini sendiri adalah pelayanan yang mampu mendatangkan kepuasaan
bagi pelanggan atau dikenal dengan konsep pelayanan prima maka sudah sepantasnya setiap organisasi public maupun privat dituntut untuk mampu melahirkan pelayanan berkualitas . Semua organisasi
termasuk pemerintah dituntut menjadikan konsep ini sebagai fakta aktual untuk
diterapkan dalam menyelenggarakan pelayanan publik. Lahirnya Undang-Undang Nomer
25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik juga semakin menegaskan pentingnya
pelayanan publik yang prima.
Undang-Undang Nomer 25 tahun 2009
tentang Pelayanan Publik mendefinisikan pelayanan publik sebagai kegiatan atau
rangkaian kegiatan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan
atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan
publik. Undang-Undang Nomer 25 Tahun 2009 tepatnya di Pasal 5 juga menjelaskan
dengan rinci bahwa ruang lingkup pelayanan publik meliputi pengadaan dan
penyaluran barang publik dan jasa publik serta pelayanan administrasi di bidang
pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan
informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan,
perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya.
Dalam hal ini, pemerintah ada bukan ditujukan
untuk melayani dirinya sendiri, tetapi melayani masyarakat serta menciptakan
kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan
kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama (Rasyid, dalam Masdar dkk., 2009:87). Maka sudah sepantasnya pelayanan publik yang prima dan berkualitas (Service
Excellence) menjadi prioritas pembangunan di negara kita. Apalagi hakikat pelayanan publik itu sendiri adalah meningkatkan kuantitas dan
kualitas pelayanan, terselenggaranya pelayanan yang berdaya dan berhasil guna,
serta mendorong tumbuhnya kreativitas, prakarsa, dan peran serta masyarakat
dalam pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat (Ibrahim, 2008:19) .
Bekualitas di sini maksudnya pemerintah harus bisa menafsirkan keginan masyarakat sehingga kebutuhan-kebutuhan masyarakat dapat dipenuhi baik itu dari segi birokrasi, kesehatan, pendidikan dan sebagainya. Adanya tuntutan service excellence bagi pemerintah sebenarnya tidak terlepas dari perkembangan sejarah dan paradigma ilmu administrasi negara. Masa orde baru dan lama yang menganut paradigma Old Public Administration (OPA) menjadikan pelayanan lebih berorientasi kepada client serta lebih menekankan aspek formalitas dan strukturalitas sehingga birokrasi sebagai ujung tombak pelayanan publik cendrung sentralistik. Masa reformasi yang ditandai dengan krisis ekonomi menyebabkan paradigma OPA bergeser paradigma New publik Managemen (NPM) yang menjadikan pelayanan lebih berorientasi pada pelanggan (customer) dan profit. Berbagai konsep seperti reinventing government yang dikenalkan David Osborne mulai digagas untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Bekualitas di sini maksudnya pemerintah harus bisa menafsirkan keginan masyarakat sehingga kebutuhan-kebutuhan masyarakat dapat dipenuhi baik itu dari segi birokrasi, kesehatan, pendidikan dan sebagainya. Adanya tuntutan service excellence bagi pemerintah sebenarnya tidak terlepas dari perkembangan sejarah dan paradigma ilmu administrasi negara. Masa orde baru dan lama yang menganut paradigma Old Public Administration (OPA) menjadikan pelayanan lebih berorientasi kepada client serta lebih menekankan aspek formalitas dan strukturalitas sehingga birokrasi sebagai ujung tombak pelayanan publik cendrung sentralistik. Masa reformasi yang ditandai dengan krisis ekonomi menyebabkan paradigma OPA bergeser paradigma New publik Managemen (NPM) yang menjadikan pelayanan lebih berorientasi pada pelanggan (customer) dan profit. Berbagai konsep seperti reinventing government yang dikenalkan David Osborne mulai digagas untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Seiring perkembangannya ternyata paradigma
NPM juga dianggap tidak relevan
untuk terus diterapkan, sebab akses pelayanan publik tidak bisa dirasakan oleh
semua kalangan masyarakat serta hal ini dianggap tidak sesuai dengan aspek
sosial pelayanan publik yang menjunjung tinggi asas keadilan. Konsekuesinya, pada
tahun 2003 terjadi pergeseran paradigma ke arah New Public Service (NPS)
yang mengeser pandangan administration of public ke administration by
public, artinya negara bukan hanya berperan sebagai agen tunggal dalam
implementor pelayanan tetapi juga sebagai fasilitator yang berorientasi pada kepentingan dan permintaan publik. Intinya, paradigma
NPS mengembalikan kedudukan rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara sesuai
dengan ide demokrasi sehingga kepuasaan citizien (masyarakat) menjadi ihwal
utama yang harus diperhatikan pemerintah dalam memberikan pelayanan.
Lahirnya konsep good governance yang mendambakan pemerintahan
yang baik, bersih dan berwibawa dengan menitikberatkan partisipasi tiga pilar
pemerintahan (negara, swasta, dan pemerintah) juga memiliki peran penting dalam
menuntut adanya service excellence. Hal ini disebabkan tiga alasan. Pertama, pelayanan publik
merupakan ranah pemerintah dalam berinteraksi yang dapat dirasakan oleh masyarakat
luas termasuk sektor swasta sehingga pelayanan yang baik mampu membangkitkan
dukungan dan kepercayaan masyarakat. Kedua,
nilai-nilai good governance seperti
efesiensi, keadilan, responsivitas, dan akuntabilitas dengan mudah dapat
dikembangkan parameternya dalam pelayanan publik. Ketiga, pelayanan publik melibatkan semua komponen governance yaitu pemerintah, swasta dan
masyarakat sehingga baik buruknya pelayanan publik berpengaruh terhadap ketiganya
(Dwiyanto, dalam Wijoyo, 2007:31-34).
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang semakin maju dan adanya kompetesi kuat antara organisasi dunia di era
globalisasi ini juga tidak kalah pentinya dalam mendesak terselenggaranya service
excellence. Adanya kebijakan otonomi daerah juga semakin menekankan pentingnya
service excellence, sebab otonomi
daerah berkonsekuensi logis mendekatkan hubungan pemerintah dengan masyarakat
sehingga masyarakat semakin mudah
untuk menuntut haknya memperoleh pelayanan yang prima.
Referens:
1. Dwiyanto, Agus, 2008. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia.
Cetakan ke 3. Yogyakarta: Pusat Studi
Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadja Mada.
2. Ibrahim, Amin, 2008. Teori dan Konsep Pelayanan Publik Serta Implementasinya. Bandung: CV.
Mandar Maju.
3. Masdar, Sjahrazad, Sulikha
Asmorowati dan Jusuf Irianto, 2009. Manajemen
Sumber Daya Manusia Berbasis Kompetensi Untuk Pelayanan Publik. Surabaya:
Airlangga University Pers.
3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar