Bismillahirrahmanirrahim......Selamat Datang...Semoga Allah Memberkati :)

Sabtu, 28 Januari 2012

Potret Kemiskinan....


         Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang sekarang menjadi polemik besar yang harus dihadapi oleh bangsa kita. Tingkat angka kemiskinan dari zaman sebelum kemeredekaan sampai sekarang masih melesit tinggi, walaupun dalam konteks ini pemerintah kita dari tahun ke tahun sudah mengaku menurunkan angka tersebut sedikit demi sedikit. Pengakuan penurunan seperti ini sebenarnya masih diwarnai skeptis masyarakat, banyak diantara mereka berasumsi penurunan tersebut hanyalah tameng pemerintah mendapatkan legelitimasi dari masyarakat ataupun sorotan dunia, pasalnya kemiskinan semcam ini hanya dilihat dari kaca mata kemiskinan relative, dimana pemerintah itu sendiri yang menetapkan standar angka garis kemiskinan. Hal ini semacam itu sangat rentan dipenuhi tendensi politik yang berpotensi menimbulkan manipulasi, sedangkan bila ditinjau dari kemiskinan absolute masih banyak fakta refleksi kemiskinan yang ada, misalnya hampir di setiap sudut kota ataupun desa masih banyak gepeng yang berkeliaran, jumlah anak putus sekolah yang masih membludak, penganggruan masih menjadi pekerjaan dominan masyarakat kita, masih banyak keluarga yang kelaparan dan balita terkena busung lapar, dan masih banyak realita lainnya Namun terlepas dari itu semua, banyak masyarakat yang berharap kaca mata pengukuran kemiskinan relative adalah sesuatu kebenaran yang harus disyukuri.
            Di sisi lain, Bangsa kita ini memeliki potensi alam yang melimpah ruah bahkan menurut penelitian potensi alam Negara kita termasuk salah satu negara terkaya di dunia, potensi alam seperti ini pada dasarnya merupakan salah satu asset atau modal utama penentu keberhasilan pembangunan suatu Negara. Namun realitanya bangsa kita tidak mampu memperdayakan potensi tersebut dan lebih parahnya potensi alam tersebut banyak yang dikuras habis oleh bangsa lain, bangsa kita hanya bisa mengigit jari dan akhirnya kemiskinan tetap berkemelut di Negara ini. Dalam konteks ini, factor penyebab kemiskinan di Negara ini bukanlah berasal dari faktor naturally poor. Bayang – bayang sejarah masa lalu masih terus membelenggu bangsa kita, penghancuran kesempatan memperoleh hak berakar dari jaman feodalisme kerajaan-kerajaan Hindu Budha dan Islam serta di jaman kolonialisme yang memakan kurun waktu tiga setengah abad, kemudian Penghancuran kesempatan ini terus berlanjut hingga pada zaman globalisasasi ini.
            Disparitas orang miskin dan orang kaya masih sangat terlihat jelas di negara kita ini, pemandangan-pemandangan ironis kerap sekali kita temui di lingkungan sehari-hari, banyak gedung-gedung mewah yang berdiri di lingkungan kumuh, angka pengangguran semakin meningkat namun tiap harinya jalan-jalan raya semakin dipenuhi oleh mobil mewah. Era globalisasi yang menganut prinsip kapital menyebabkan distribusi ekonomi tidak dapat terealisasikan dengan adil apalagi paham tersebut menganjurkan intervensi pemerintah harus dibatasi sehingga memicu tindakan kesewenang-wenangan para pemilik modal untuk mempertahankan status quonya termasuk mengekploitasi kaum miskin. Hal ini sungguh menjadikan orang miskin tidak berdaya untuk keluar dari garis kemiskinan, mereka akan tetap terus terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang sering disebut ”lingkaran setan” yang sulit sekali ditemukan titik pemutusan mata rantainya. Apalagi seperti saat ini kondisi ekonomi negara kita belum stabil dan laju inflasi masih saat tinggi sehingga menyebabkan segala harga kebutuhan hidup semakin melambung tinggi, sementara itu penduduk miskin yang mayoritas dari mereka hanya mengandalkan upah sebagai tenaga kerja kasar akan semakin terpuruk.
Hal semacam ini disebut dengan istilah ” materialisme historis” oleh Karl Marx, kaum kapital sengaja menciptakan sistem sosial yang bukan didasari oleh kesadarannya tetapi lebih ditentukan oleh eksistensi sosial, modus produksi sebagai alat mempertahankan status quo melalui transformasi dan manipulasi alam. Negara kita yang tergolong dalam kategori negara berkembang masih banyak dipenuhi orang miskin yang terjebak dalam kultur kemiskinan semacam itu. Banyak anak yang lahir dari keluarga miskin tidak bisa memperoleh haknya terutama hak untuk bersekolah, mereka yang seharusnya menjadi tanggung jawab orang tuanya malah berbalik arah menghidupi keperluan orang tuanya sehingga ini mereka pun akhirnya berpotensi untuk mewarisi kemiskinan orang tuanya yang nantinya juga diwariskan pada keturunnya. 
           Hal semacam ini yang juga terjadi pada dua ibu yaitu Ibu Sumariyah dan Ibu Suhartini, yang merupakan tetangga kost saya dulu waktu kuliah. Saya sempat mendapatkan cerita-cerita tentang kisah dan pengalaman hidupnya. Kondisi kesulitan ekonomi yang dialami  ibu Sumariyah dan ibu Suhartini sudah berakar dari usia ke duanya masih dini. Ke duanya dilahirkan dari kondisi keluarga yang tidak jauh berbeda dari ke duanya, orang tuanya dengan keterbatasan ekonomi tidak pernah memberikan kesempatan pada mereka untuk mengenyam bangku pendidikan formal, ke duanya hanya mendapatkan pendidikan mengaji dari masjid-masjid di sekitar kampungnya. Kemiskinan orang tua ibu Sumariyah dan ibu Suhartini di desa telah mewarisi kehidupan mereka saat ini, walaupun kehidupan ke duanya sedikit lebih baik dari keadaan orang tuanya.
            Massa kecil yang seharusnya dipenuhi kebahagian bermain tidak sepenuhnya dapat dirasakan oleh Ibu suhartini dan Ibu Sumariya, di usianya yang masih sangat terbilang dini  Ibu suhartini dan Ibu Sumariyah sudah harus memikul tanggung jawab yang sangat besar yang tidak sepantasnya ditanggung oleh anak seusianya, Ibu Suhartini dan Ibu sumariyah sudah harus berjuang mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan dirinya sendiri dan keluarganya, Ibu Sumariyah yang menjadi yatim piatu di usia 2 tahun sudah terpaksa bekerja di usia 8 tahun, berbeda sedikit dengan Ibu Suhartini yang memulai bekerja di usia 10 tahun . Hal seperti membuat massa kecil ibu Sumariyah dan ibu Suhartini serasa sangat singkat. Keahlian dan ketrampilan yang menjadi kunci seseorang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan mampu memenuhi kebutuhan hidup tidak dikuasai oleh ke duanya, kemampuan manegerial mereka hanya sebatas mengandalkan tenaga yang mereka miliki. Maka dari itu mereka pun tidak memiliki pilihan sehingga ibu Sumariyah dan ibu Suhartini hanya memperoleh pekerjaan sebagai pekerja kasar. Masa remaja ibu Sumariyah dan ibu Suhartini hanya dihabiskan untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Tentunya penghasilannya yang tidak seberapa tersebut tidak sepenuhnya dirasakan oleh ke duanya, pasalnya penghasilan tersebut sebagian besar bahkan hampir semuanya diberikan untuk membiayai kebutuhan hidup orang tuanya ataupun saudara kandungnya. Mungkin masa kecil Ibu Sumariyah dan ibu Suhartini ini dapat dikatakan sebagai bentuk ekploitasi terhadap anak.
            Bukan hanya itu, kemiskinan orang tuanya telah memberikan bekas yang tidak indah dalam kehidupannya terlebih untuk kehidupan ibu Sumariyah. Akibat  ketidakberdayaan di usianya yang masih terbilang belia ibu Sumariyah kerap  mendapatkan hujatan dan siksaan dari kakaknya bahkan menurutnya siksaan tersebut pernah hampir merebut nyawanya. Dalam konteks ini, ibu Sumariyah dan ibu Suhartini hanya bisa pasrah menerima keadaannya. Lingkungan remaja ibu Sumariyah dan ibu Suhartini menyebabkan ke duanya mendapatkan suami yang memiliki latar belakang yang sama dengan beliau, suami ibu Sumariyah dan ibu Suhartini juga tidak pernah merasakan bangku sekolah. Hal ini menyebabkan suami-suami mereka juga tidak memiliki kemampuan managerial yang baik sehingga mereka pun dihadapkan pada pilihan pekerjaan yang tidak mampu membawanya keluar dari jerat kemiskinan. Hal ini seperti dialami oleh suami ibu Sumariyah, akibat keterbatasan kemampuan dan keahilan menyebabkan beliau hanya bisa bekerja sebagai buruh pabrik, ketika pabrik tersebut mengalami kebangkrutan dan beliau terkena PHK tidak banyak yang bisa dilakukannya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, beliau hanya bisa berpangku tangan dan menjadi pengagur selama 9 tahun, waktu yang cukup lama untuk memulai suatu usaha.
             Sedikit berbeda dari cerita suami ibu Suhartini, suaminya hanya memiliki ketrampilan bengkel yang diperolehnya secara otodidak. Namun akibat keterbatasan modal, suaminya hanya mampu membuka usaha bengkel sederhana yang hanya melayani kerusakan sepeda ataupun sepeda motor dengan masalah-masalah yang tidak serius, seperti ban kempes atupun mesin yang sudah rusak. Akibat penghasilan suaminya yang tidak menentu ibu Sumariyah dan ibu Suhartini juga dituntut memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari terutama untuk membiayai sekolah anak-anaknya, ke duanya tidak menginginkan anaknya memiliki nasib yang sama dengan orang tuanya. Dalam konteks ini, ibu Sumariyah mampu menyekolahkan ke dua putranya hingga pendidikan SMA, sedangkan Ibu Suhartini masih prose menyekolahkan putra semata wayangnya yang kini berada di bangku SMP. Ibu Sumariyah mampu menyekolahkan ke dua putranya melalui hasil jerih payahnya sebagai penjual rujak dan pesuruh orang yang membutuhkan tenaganya, misalnya mencuci, menyetrika, memasak sampai menjaga anak. Sedangkan ibu Sumariyah membanting tulang sebagai pengantar dan penunggu ponakannya yang masih duduk di bangku TK.
Sebenarnya kondisi perekonomian ke duanya masih bisa dikategorikan dalam posisi yang aman, artinya dengan penghasilan tersebut mereka masih bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, setidaknya mereka tidak pernah mengalami kelaparan walaupun kerap makanan yang dikonsumsinya hanya berlauk sederhana. Keduanya juga masih bisa memiliki tempat untuk berlindung dari sengatan terik matarahari dan hujan meskipun hanya berteduh di rumah sederhana, rumah ibu sumariyah sekarang hanya bertembok semen yang belum dicat dengan 3 ruangan berukuran 2X3 meter dan tidak jarang kamar beliau terpaksa dijadikan tempat untuk menyimpan perabotan dapurnya. Sedangkan rumah kontrakan Ibu Suhartini hanya terdapat satu ruangan berkuran 3X3 meter dan hanya diruangan itulah semua aktivitas keluarganya dilakukan mulai dari memasak,nonton tv, tidur, makan, belajar putranya dan aktivitas-akitivitas sehari-hari lainnya.
Namun seperti ungkapan metafora ” orang miskin kalau ada di atas air yang tenang sebenarnya tidak akan apa-apa tapi kalau kemudian air tersebut bergolombang sedikit saja maka hal tersebut akan berpotensi menenggelamkan bahkan mematikan orang miskin”. Metefora inilah yang mungkin cocok mengambarkan kondisi kehidupan dua Informan tersebut yang  dekat dengan garis kemiskinan. Penghasilan yang tidak menentu tersebut jarang sekali bersisa sehingga menyebabkan ke duanya tidak memiliki simpanan yang cukup apabila ada keperluan yang mendesak seperti untuk biaya pengobatan  apabila sakit.
Ibu sumariyah yang awalnya mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari secara mandiri, namun ketika penyakit rematik menderanya menyebabkan ibu sumariyah yang menjanda terpaksa berhenti berjualan dan mengantungkan hidupnya pada anak-anaknya. Begitupula dengan putra bungsunya yang menjadi harapan beliau untuk mengantungkan hidup, putranya yang awalnya bekerja sebagai buruh di salah satu pabrik harus terbaring lemah tidak bisa lagi mampu beraktivitas karena penyakit komplikasi paru-paru dan diabetes. Warung yang dulunya juga menjadi usaha anaknya kini terpaksa kekurangan modal sehingga hanya mampu menghasilkan pemasukan yang sedikit. Akhirnya sekarang ini Ibu Sumariyah kembali terjebak  pada lembah kemiskinan yang menyebabkan beliau mengantungkan kehidupannya dari santunan orang lain terlebih lagi untuk biaya pengobatan dirinya sendiri dan anaknya yang tentunya membutuhkan biaya besar. Kehidupan Ibu suhartini pun sekarang mulai mengalami kesulitan, pasalnya peralatan bengkel suaminya sudah banyak yang tua dan rusak sehingga juga menyebabkan penghasilan suaminya berkurang.
 Mungkin ke dua contoh diatas, hanya merupakan sampel yang sangat kecil untuk menjelaskan bahwa lingkaran syaitan kemiskinan akan terus berkutat pada lingkungan-lingkungan yang di dalamnya juga dipenuhi oleh orang miskin. Hanya wawasan mengenai pentingnya pendidikan dan wawasan yang belandaskan agama kepada anak di usia dini  mungkin bisa menjadi penawar atau pemutus lingkaran tersebut. Sebenarnya ini menjadi tanggung jawab kita semua untuk mampu mencetak generasi-generasi yang bewawasan luas, kaya akan ketrampilan, dan berjiwa agamis khususnya anak-anak dilingkungan-lingkungan dan dari kalangan orang miskin. Semoga Negara kita mampu menaugi anak-anak bangsa untuk tetap bersekolah sehingga jerat kemiskinan bisa terlepas di Negara kita tercinta.

                       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar