Bismillahirrahmanirrahim......Selamat Datang...Semoga Allah Memberkati :)

Minggu, 05 Februari 2012

Menulis tentang representasi wanita..:)


Konsep Demokrasi mulai mengaung keras di pemerintahan indonesia sejak tumbangnya kekuasaan Soeharto yang di aktori oleh kaum intelektual telah  merambah luas ke semua aspek pemerintahan dan membawa perubahan besar dalam penyelenggaraan pemerintahan bangsa ini termasuk sistem pemerintahan yang berprespektif gender. Demokrasi ini merupakan hasil komitmen dan konsensus bersama yang dipilih bangsa ini sebagai alat pencapai tujuan negara, maka sudah semestinya demokrasi yang memperadabkan manusia, menghargai hak dan kewajiban orang lain, menujunjung tinggi perbedaan di tengah pluralisme masyarakat rakyat menjadi point penting yang harus dipengang kuat agar pengekangan kebebasan yang selama ini menjerat kaum perempuan dihapuskan sehingga perempuan diberikan peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam segala aspek termasuk aspek politik.   Berbagai perombakan telah dilakukan oleh bangsa ini dalam rangka mendorong partisipasi perempuan di arena politik salah satunya dengan menetapkan kebijakan quota 30 persen perempuan bagi parpol yang ingin berlaga dalam pemilu.
Representasi berarti menghadirkan yang tidak hadir, dapat disimpulkan bahwa representasi perempuan merupakan suatu upaya menghadirkan perempuan di pemerintahan sebagai ajang untuk mengekpresikan kepentingannya agar tetap bisa disuarakan dan diwakili. Pentingnya representasi perempuan mencuat kepermukaan setelah maraknya tuntutan kaum feminist tentang isu keseteraan gender yang akhirnya membuahkan lahirnya affirmative action. Tindakan affirmatif (affirmative actions) adalah tindakan khusus koreksi dan kompensasi dari negara atas ketidak adilan gender terhadap perempuan dengan cara memberikan hak dan kesempatan yang sama antara laki –laki dan perempuan. Pemberlakuan sistem quota merupakan suatu strategi langkah afirmatif yang diharapkan dapat merangsang peningkatan representasi perempuan, hal ini juga menjadi bagian tak terpisahkan dari serunya perdebatan mengenai pengembangan sebuah sistem politik demokratis yang dibangun berdasarkan azas kesetaraan gender. Tuntutan penerapan quota 30 persen ini sebenarnya merupakan sebuah efek atau  bagian integral dari adanya tuntutan yang lebih besar lagi  mengenai hak - hak bagi perempuan di arena politik.
Di Indonesia populasi perempuan yang lebih besar daripada populasi laki-laki menjadi fokus perhatian penting terhadap pentingnya representasi yang proporsional. Sebenarnya persamaan gender khususnya di bidang pemerintahan dan hukum sudah dituangkan sejak diundangkannya Undang-Undang Dasar 1945, tanggal 17 Agustus 1945, dalam pasal 27 ayat 1, yang lengkapnya berbunyi :“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, dan adanya sejarah juga menujukkan bahwa perempuan juga memiliki andil dalam memerdekakan bangsa ini, banyak pahlawan yang lahir dalam kuadrat perempuan. Apalagi di tengah zaman demokrasi yang dimeriahkan oleh affirmative action yang memberikan keistimewaan bagi representasi perempuan sebagai bentuk keadilan gender.

Maka sudah sepantasnya representasi perempuan merupakan isu peting yang harus mendapat sorotan tajam bagi semua element bangsa khususnya pemerintah yang memiliki otoritas meregulasi. Disamping itu, pentingnya representasi perempuan diwarnai oleh argument-argumen yang semakin menuntut lahirnya kebijakan akan naungan representasi perempuan. Argumen tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Argumen Keadilan. Argumen ini menegaskan bahwa perempuan mewakili separuh dari keseluruhan jumlah penduduk indonesia, dan mempunyai hak untuk memperoleh separuh jumlah kursi. Menurut data, jumlah perempuan di Indonesia dari tahun ke tahun selalu menunjukkan jumlah yang lebih besar dari laki-laki. Sehingga sudah sepantasnya wanita juga diberikan kesempatan untuk berkiprah di dunia pemerintahan sebagai refleksi dari keadilan
  2. Argumen Pengalaman. Dalam konteks ini, Perempuan memiliki pengalaman yang berbeda (baik dikonstruksi secara biologis maupun social) yang harus direpresentasikan. Maka dari itu,  Perempuan harus masuk ke dalam posisi kekuasaan, sehingga dia akan terikat dalam politik secara berbeda terutama untuk memperbaiki hakikat ruang Public yang selama ini hanya didominasi oleh kaum maskulin.
  3. Argumen Model Peran. Politisi perempuan mewakili seorang model yang berperan mendorong perempuan lain untuk mengikutinya. Intinya adalah merekrut perempuan ke dalam politik institucional dan menjamin perempuan agar tidak diisolasi dalam kehidupan politik. Diharapkan dengan semakin banyaknya patisipan perempuan dipemerintah akan dapat merangsang perempuan-perempuan lainnya masuk ke area politik dan pemerintahan.
  4. Argumen Kepentingan. Kelompok perempuan dan laki-laki memiliki kepentingan yang berlainan antara satu dengan lainnya, sehingga tidak dapat mewakili perempuan secara utuh dan menyeluruh. Untuk mengrepsentasikan dan mengakmulasi kepentingan tersebut maka perempuan harus terjun langsung dalam posisi policy maker.
 Kebijakan-kebijakan sebagai langkah penyempurnaan untuk meningkatkan representasi perempuan sebenarnya telah ditempuh oleh bangsa ini. Pucaknya setelah euphoria reformasi dikumandangkan, representasi perempuan dijadikan agenda terpenting sebagai refleksi prinsip demokrasi. Maraknya isu gender yang semakin diserukan keras oleh aktivis perempuan yang merasa selama ini termarginilisasi sudah mampu mengeser paradoks kehidupan masyarakat kita yang memuja sistem patriarki sehingga sedikitnya hal ini bisa membuka kekangan jeratatan rantai yang selama ini membelunggu kebebasan perempuan untuk berpartisipasi politik termasuk untuk menjadi wakil daerahnya di kursi legeslatif. Faktanya hal ini memang mampu merangsang progres perempuan dalam memengang peran sebagai wakil daerahnya. Namun masalahnya adalah jumlah mereka tidak cukup terwakili dan tidak proporsional jika dibandingkan dengan laki-laki, bangku-bangku legeslatif masih dimonopoli oleh kaum maskulin dan keterwakilan feminis masih sangat minim, pada periode pemerintahan tahun 2004-2009 jumlah perempuan yang duduk di bangku DPR tidak ada setengahnya jumlah perempuan anggota DPR hanya 65 orang dari total 55O anggota DPR atau 11,3 % (Tempo, 21 oktober, 2008, hal. A6 ). Padahal pemilu 2004 yang merupakan pemilu pertama pasca perubahan UUD 1945 di tahun 2002 sudah mengusung penetapan quota perempuan partai politik peseta pemilu 30 persen.
Pada pemilu 2009 kebijakan-kebikan mulai mengalami pembenahan untuk memperbaiki kesalahan pada pemilu 2004 sehingga keterwakilan perempuan bisa seseuai dengan harapan.  Pembenahan perbaikan pemilu 2009 dalam mengadirkan keterwakilan diregulasi secara formal dalam UU no 10 tahun 2008 yang mencantumkan tiga ketentuan tentang keterwakilan perempuan, yakni dalam hal pembentukan dan pendirian parpol, serta kepengurusan parpol di pusat dan daerah yang kesemuanya itu harus memenuhi quota 30%, disamping itu semua parpol juga diminta menerapkan sistem zipper yang mengimbau parpol untuk menepatkan minimal satu perempuan dari tiga caleg yang diusungnya. Ini semua dilakukan untuk meningkatkan jumlah legeslator sehingga diharapkan dapat membawa perubahan pada kualitas pengambilan keputusan legeslasi yang berperspektif perempuan dan gender yang adil dan berimbas pada keadilan sosial dan ekonomi. Disamping itu, Semakin banyak keterwakilan perempuan maka akan semakin merangsang munculnya teori – teori baru demokrasi yang hal ini mampu melengkapi kesempurnaan konsep demokrasi yang dapat memajukan keberlangsungan demokrasi selanjutnya.  
Namun ternyata hasil pemilu 2009 juga tidak menunjukkan hasil yang signifikan, perempuan hanya sedikit yang hadir dalam bangku politik. Fenomena semacam ini ternyata masih menyisakan tangis bagi perjuangan kaum dan mengundang skeptis masyarakat tentang konsep demokrasi. Dalam hal ini, kebijakan untuk menghadirkan perempuan di bangku parlemen masih mengalami beberapa hambatan, diantaranya :

1.   masih tebalnya sistem partiarki
Dalam kultur bangsa kita menganut sistem patrikial yang menganggap laki – laki memiliki status yang tinggi ketimbang perempuan. Peran perempuan diasumsikan hanya terbatas pada peran biologis seperti mengandung, melahirkan, menyusui, mendidik anak dan berbagai peran biologis lainnya sedangkan di luar peran itu merupakan ranah kaum laki-laki  termasuk peran untuk berkeciprah dalam pemerintahan. Kaum maskulin yang enggan tergeser posisinya dengan berdalih pelestarian kultur dapat memformulasi aturan-aturan dalam permainan politik, mereka membuat kebijakan yang memperbesar peran wanita sebagai ibu dan istri. Meskipun ruang partispasi sudah disediakan untuk perempuan di parlement adanya konsekuensi reduksi waktu perempuan sebagai ibu dan istri masih menjadi spekulasi yang dianggap kurang menarik oleh kaum feminist untuk menjadi legeslator apalagi adanya program dan waktu sidang parlement yang kurang mempertimbangkan peran rangkap perempuan menyebabkan para anggota legeslatif berjuang menyeimbangkan kehidupan keluarga dan tuntutan profesi yang hal ini bukalah pekerjaan yang mudah.
2.      Kurangnya Perhatian Parpol
Kebijakan UU no 10 tahun 2008 yang mengharuskan parpol melakukan rekuitmen caleg perempuan berdasarkan mekanisme internal parpol yaitu sistem proporsional terbuka malah membuat tusukan bagi implementasi, pasalnya ini tidak diimbangi dengan mekanisme yang jujur dan terpercaya  parpol itu sendiri,  parpol yang masih memuja kultur patriarki masih konvensional dalam merespon aturan ini walaupun sistem zipper sudah diterapkan sehingga mereka menghadirkan quota 30% di partainya hanya sebagai formalitas untuk merebut kekuasaan melalui tangan-tangan lelaki dan pengulangan sejarah yang tidak mampu menghadirkan 30% perempuan di legeslatif akan terjadi lagi dan akhirnya kursi parlement  akan tetap dimeriahkan oleh aktor legislator laki-laki. Disamping itu kendala rekutmen yang kurang selektif juga memperngaruhi kualitas caleg-caleg perempuan itu, parpol lebih memberikan ruang kepada perempuan yang memiliki popularitas yang berasal dari golongan selebriti ketimbang perempuan yang memiliki kompetensi ataupun rakyat biasa. Faktor minimnya dukungan dana oleh parpol pada kandidat perempuan juga memeriahkan alasan mengapa resprentasi perempuan masih jauh dari proporsional, lingkungan parpol khusunya pihak-pihak pensuply dana masih banyak yang melihat kemampuan politik perempuan sebelah mata sehingga  mereka menghalangi perempuan untuk dinominasikan.
3.                              Sistem Pemilu.
Tipe sistem pemilihan suatu negara memainkan bagian penting dalam representasi politik perempuan itu sendiri. Bagi perempuan agar terpilih masuk ke parlemen, mereka harus melalui tiga rintangan krusial: pertama, mereka perlu menyeleksi dirinya sendiri untuk pencalonan; kedua, mereka perlu diseleksi sebagai kandidat oleh partai; dan ketiga, mereka perlu diseleksi oleh pemilih Persaingan para caleg perempuan tersebut sangat ketat dalam memperebutkan kursi yang telah tersedia, selain harus bersaing dengan caleg laki-laki yang notabanenya kuat, mereka juga harus bersaing dengan caleg perempuan kandidat partai lain. Daerah pemilihan menjadi hal lain yang harus dipertimbakan, pasalnya besar kecilnya kursi yang diperebutkan di daerah pemilihan tidak akan memilki arti yang signifikan bagi representasi perempuan apabila kandidat perempuan hanya dipajang di urutan nomer bawah. Disamping itu,  adanya sistem pemilu caleg langsung oleh public mengkibatkan caleg perempuan harus dikenal publik dan cara yang paling tepat untuk memperkenalkan diri mereka adalah melalui  media massa yang hal ini tentunya memakan biaya yang cukup besar. 
4.                              Rendahnya Pendidikan dan Pelatihan berprespektif gender.
Faktor inilah yang seharusnya mendapat sorotan tajam semua negara demokrasi agar dapat menghadirkan perempuan yang proporsional. Melalui gembarakan pendidikan dan pelatihan politik beprespektif gender akan mampu membuka  gembok paradoks masyarakat yang selama ini memuja sistem patrikial, dalam konteks ini masyarakat dapat menanamkan dalam benaknya akan pentingnya represntasi perempuan. Pendidikan dan pelatihan ini bisa mendorong kemampuan perempuan berbicara dan berdebat mengenai kepentingannya. Pemahaman umum tentang keprihatinan atau urusan perempuan, munculnya kesadaran politik berbasis gender, keahlian lobi, dan jaringan kerja adalah modal untuk menjadi legislator perempuan yang dipercaya oleh semua kalangan. Namun, Selama ini banyak kaum feminist masih  kurang memiliki kesadaran politik dan kemampuan politik bahkan untuk mengekpresikan kepentingannya saja mereka masih kesulitan dan tidak berani. 
Kendala-kendala tersebut tentunya dapat dijawab oleh pemerintah, jika strategi seperti di bawah ini diperhatikan. Adapun starteginya adalah seba
  1. Pemberlakukan Pemberdayaan terhadap Perempuan
Pemberdayaan berarti upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang dimiliki oleh perempuan dengan tujuan  mencetak kemandirian perempuan sebagai statu sistem yang mampu berkolaborasi dan bersinergitas dengan pemerintah sehingga perempuan mampu mengorganisir diri mereka. Dalam memperdayakan ini, perempuan diberi suatu peran yang menunjukkan bahwa dirinya adalah subjek yang dapat mempengaruhi masa depan mereka sendiri bukan lagi objek terutama dalam pembangunan. Langkah pemberdayaan perempuan ini dapat dilakukan melalui langkah-langkah berikut : 
1. Membangun kerangka berpikir kritis terhadap penyebab ketidakberdayaan perempuan. 
2. Memperluas akses terhadap sumber-sumber alam, finansial, dan intelektual.
3. Menguatkan kepercayaan diri, pengetahuan, informasi, dan keterampilan untuk memahami dan melakukan intervensi pada bidang-bidang sosial, politik, dan ekonomi.
4. Meningkatkan partisipasi pengambilan keputusan di dalam keluarga dan masyarakat.
5. Memperluas ruang gerak, posisi, dan peran baru yang sebelumnya didominasi oleh kaum laki-laki. 
6. Selalu mempertanyakan secara kritis serta mengubah pandangan, keyakinan, kebiasaan, struktur sosial dan kelembagaan yang cenderung melanggengkan ketidakadilan.
2. Melakukan advokasi para pemimpin partai-partai politik . Advokasi ini diperlukan dalam upaya menciptakan kesadaran tentang pentingnya mengakomodasi perempuan di parlemen, terutama mengingat kenyataan mayoritas pemilih adalah perempuan sehingga hal ini dapat mengugah hati parpol untuk lebih perhatian terhadap representasi perempuan. Advokasi akan jauh memberikan hasil apabila dilakukan pada perempuan  yang sudah menduduki posisi-posisi strategis dalam partai seperti jabatan ketua dan sekretaris sebab posisi ini berperan dalam memutuskan banyak hal tentang kebijakan partai yang mendukung representasi perempuan sehingga parpol akan memberikan kemudahan caleg perempuan untuk berjuang memperebutkan kursi di parlement  
3. Membangun akses ke media. Media massa pantas disebut sebagai pilar keempat kekuasaan, karena media mampu mempengaruhi opini, pemikiran dan kesadaran publik. Dalam konteks ini, Peran media massa diregulasikan memberikan peliputan yang berprespektif gender dengan menginformasikan hak dan peran perempuan dan mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan upaya pemerintah dapat memperbaiki posisi perempuan. Hal semacam ini tentunya mampu membuka wawasan publik terhadap pentingnya resprentasi perempuan sehingga  partisipasi perempuan untuk berpolitik semakin meningkat dan semua pihak termasuk kaum laki-laki dan aktor-aktor pembuat kebijakan parpol dapat memberikan dukungan bagi caleg-caleg perempuan bukan malah menghambat mereka untuk hadir dan akhirnya secara perlahan-lahan paradoks patriarki di bangsa ini dapat terlepaskan.
  4. Meningkatkan kesadaran dan kualitas perempuan melalui pendidikan dan pelatihan. Hal semacam ini diperlukan dalam rangka meningkatkan rasa percaya diri perempuan pada kemampuan dan mempersiapkan mental mereka untuk bersaing dengan laki-laki dalam upaya menjadi anggota parlemen. Pada saat yang sama, sosialisasi konsep bahwa arena politik terbuka bagi semua warganegara dan politik bukan arena yang penuh konflik dan dan intrik yang menakutkan juga harus ditanamkan dan ditumbuhkan dalam benaknya. Tentunya hal ini akan berhasila apabila diadakan pendidikan dan pelatihan bagi mereka. Keterwakilan perempuan di parlemen menuntut suatu kapasitas yang kualitatif, mengingat bahwa proses rekrutmen politik sepatutnya dilakukan atas dasar merit sistem. Peningkatan kualitas perempuan dapat juga  dilakukan melaui pendidikan dan pelatihan ini. Ketika rasa percaya diri dan kesiapan mental disertai kualitas, maka caleg-caleg tersebut mempunyai peluang lebih banyak untuk terpilih sebab dengan begitu mereka dapat mempengaruhi parpol dan publik dengan mudah

  5. Membangun dan memperkuat hubungan antar jaringan dan organisasi perempuan. Di    Indonesia, saat ini sudah bermunculan beberapa asosiasi besar organisasi perempuan seperti Kongres Wanita Indonesia (KOWANI), Wanita Indonesia (BMOIWI), dan organisasi lainnnya.  Semua jaringan ini memiliki potensi penting untuk mendukung peningkatan representasi perempuan di parlemen, baik dari segi jumlah maupun kualitas apabila diantara mereka tercipta sebuah sinergi usaha yang dapat mengusung caleg perempuan. Adanya Kerjasama dengan organisasi perempuan akan memperkuat seorang caleg perempuan memiliki dukungan baik itu fisik maupun materi untuk teripilih sehingga perempuan dapat hadir di bangku legeslatif.

6. Meningkatkan Alokasi Dana bagi Perempuan. Tidak dapat dipungkiri bahwa dana merupakan aspek penting bagi peningkatan representasi politik perempuan. Hal ini dikarenakan perlunya kegiatan-kegiatan seperti pelatihan untuk meningkatkan kemampuan perempuan dalam meningkatkan kualitas atau keterampilan dirinya. Selama ini dana bagi perempuan masih sangat minim, apalagi keberadaan mereka kerap kali hanya dijadikan tameng untuk menuturi parpol yang sebenarnya kntra dengan representasi perempuan, kaum perempuan hanya dipandang sebagai pemulus jalan parpol untuk menuju bangku pemerintahan. Hal semacam ini juga mengakibatkan parpol atau pihak-pihak pensuply dana tidak mau mendanai caleg-caleg perempuan khususnya untuk keperlaun pemilu
Maka dari itu, diperlukan suatu aturan yang bersifat formal atau konstitusi legal untuk meningkatkan alokasi dana bagi caleg-caleg perempuan. Alokasi ini bisa diperoleh dari partai ataupun organisasi-organisasi perempuan lainnya. Seharusnya dalam hal ini, pemerintah tidak memberlakukan kebijakan yang mengatur bahwa parpol tidak memiliki kewenangan untuk memprioritaskan siapa yang mendapat dana paling banyak atau sedikit, seharusnya parpol lebih adil dan tidak melakukan diskriminasi yang hanya berpotensi merugikan kaum perempuan yang juga ingin meyuarakan kepentingannya. Tentunya kebijakan ini, tidak serta merta mendapat respon positif dari berbagai pihak, justru sebaliknya kebijakan ini pasti di hujani oleh kritikan-kritikan tajam dari berbagai pihak khususnya internal partai politik yang di dominasi oleh kaum maskulin.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar